rasa, kata dan mimpi .....

Selasa, 18 Januari 2011

ouch....

Dilabrak…. Ouch…

Mungkin kita terlalu lama dijajah Belanda terlintas dipikiran saya. Entah mengapa di lingkungan saya orang-orang sangat menghormati orang kulit putih (bule). Berkali-kali dihina dan direndahkan tidak membuat kami kehilangan rasa hormat itu. Rasa hormat dalam hal ini adalah tetap bersikap baik. Berkali-kali dia mengucapkan “I hate Indonesian” tidak membuat kami bergeming atu setidaknya menunjukkan reaksi ketidak sukaan kami. Bisa berteman dengan orang asing berkulit putih seakan punya nilai tersendiri dalam pergaulan, tak perduli seberapa buruknya pun mereka memperlakukan kami. Mungkin kita terlalu lama dijajah Belanda, sehingga terbentuklah “mental budak” dalam diri kami.Tak terkecuali bagi para wanita dilingkungan saya, bisa menjalin hubungan dengan bule seakan menaikkannya ke suatu kelas sosial tertentu, apalagi sampai menikah, tak tergambarkan bangganya.

Diskriminasi juga terjadi di dunia pekerjaan. Orang asing selalu dibayar lebih tinggi dari pada tenaga lokal. Padahal belum tentu kemampuan tenaga lokal lebih rendah. Kalau memang sesuai kemampuan, wajar-wajar saja. Untuk bahasa, misalnya, karena lidah mereka yang native buat bahasanya yang dipelajari di seluruh dunia, tentu saja kita tidak bisa menandingi, hey… that is their language. Tapi kalau untuk grammar atau spelling, saya tahu banyak tenaga lokal yang lebih menguasai dibanding mereka yang berkulit putih. Malah bisa dikatakan kemampuan mereka dibawah rata-rata untuk hal itu. Belum lagi latar pendidikan mereka yang tidak jelas, dan attitude yang amburadul.

Logikanya, kalau mereka sejahtera di negaranya yang katanya maju ,menyenangkan dan selalu dibangga-banggakannya itu, ngapain datang ke negara berkembang yang selalu direndahkannya ini, bekerja dan hidup disini. Tetapi tetap saja para pengusaha memakai tenaga mereka dan membayar mereka dengan sangat tinggi, berlipat-lipat kali lebih besar dari tenaga lokal. Konon katanya punya karyawan bule membuat konsumen tertarik, jadi baik sekali untuk bisnis. Bangsa sendiri pun tidak menghargai bangsa sendiri dengan sepantasnya. Siapa lagi yang bakal menghargai kita?

Saya koar-koar seperti ini bukan karena saya punya pengalaman buruk dengan satu diantaranya yang kebetulan teman sekantor saya.
Ceritanya begini, di hari senin kemarin, tiba-tiba dia datang kehadapan saya, “I wanna talk to you” katanya. Belum sempat saya menarik napas, dia sudah mencecar saya dengan makian-makian dalam bahasanya, kasar sekali. Terkejut dengan perlakuan itu, saya hanya sempat bilang,”I didn’t do it” sambil menahan tangis. Karena tuduhannya terhadap saya itu tidak benar, dan saya punya saksi-saksinya. Tak pernah terbayang pada saya akan punya masalah dengan orang lain.

Beberapa hari yang lalu, saya dan tiga orang teman berkumpul setelah menyelesaikan pekerjaan. Karena itu ruangan teman saya, jadi saya tidak canggung menyentuh barang apapun di ruangan itu. Kebetulan saya berdiri di dekat meja, di meja itu kebetulan ada buku si bule, ketinggalan ceritanya. Iseng aja, saya buka buku itu(sekilas, only a glance), “ugly handwriting” ucap saya, tak lebih dari itu, saya tidak tahu apa isinya. Tak lama si bule datang dengan maksud mengambil bukunya.

Kemarin, di depan banyak orang, dia melabrak saya…. “ next time if somebody left their book, don’t open it, read it and tell everybody about it…bla…bla… u f******…..bla…bla…. that is a f****** childish things to do…&*%*$$&(((&*%#@!#%^&((()*&%^%$#@#%^&&*...., I hate all Indonesian”

Penting diketahui hal itu diucapkan di depan banyak orang dan anak-anak….
Setelah itu dia pergi, tak lama kemudian dia datang lagi, tak kuasa menahan marah dan takut lepas kendali, saya pergi. Ternyata dia malah marah-marah kepada teman yang saya tinggalkan disana “ if you want to say something say it in front of me, you f******…… kiss my ash…..$#%$&*%&^%%^$%##!!$#”. Dimana etikanya sebagai seorang manusia. Terlepas dari apapun masalahnya, tidak sepantasnya dia mengucapkan kata-kata kotor dan kasar seperti itu kepada manusia lain, katanya educated well, berasal dari negara yang paling beradab, kelakuan kok kayak tarzan.

Saya memang membuka buku itu (tidak dengan maksud khusus), tapi membacanya dengan tekun (cukup tekun untuk menyelami isinya) tidak saya lakukan, apalagi menyebarkan isinya kepada semua orang. Saya bahkan tak tahu apa isinya. Saya tidak punya kepentingan apapun dengan dia, bukunya atau apapun yang melekat dengan dirinya!

Bukan hanya sekali kata-kata kasar di lontarkanya untuk menghina bangsa ini dan kami. Banyak dari kami juga mendengar bukan hanya saya. Perlu saya tambahkan tidak semua orang asing seperti dia ini, karena banyak juga kok yang baik dan sadar benar dan kalau mereka hidup, makan, tidur, ook, dan kerja disini.

Mungkin kekurangan saya adalah tidak terlalu perduli, saya reaktif, tapi tindakan saya lebih kepada menjauhi masalah, malas berurusan dengan orang seperti itu, sampai akhirnya saya benar-benar terkena langsung. Seharusnya kami reaktif sedari awal dia mulai melecehkan, mengejek, dan menghina tempat kita tinggal. Mungkin memang tidak ada lagi nasionalisme dalam jiwa kami. Kalau saja dari awal kami sudah menunjukkan ketidaksukaan kami, pastilah dia tidak akan menjadi-jadi.

Banyak orang tahu tentang ini, di kantor berita memang cepat menyebar, tak terkatakan suasana hati saya saat itu. Hari senin, in the morning dah digituin sama orang yang bahkan numpang tinggal di negara tercinta saya ini, dan faktanya, saya tidak melakukan apa yang dituduhkannya. Banyak teman yang bersimpati pada saya( thanks all…  ).

Siang harinya, istrinya (orang Indonesia), datang minta maaf pada saya, “ its all my fault, if you want to blame somebody, just blame me” katanya. Takut break down and cry again, “I will appreciate if we don’t talk about it, I just want to forget it” kata saya. Anehnya si bule tidak menemui teman saya yang tiga lagi. Why only me? Poor I am ( I found new fact, why only me)

Usut punya usut plus analisa saya, ternyata ini berawal dari masalahnya dengan istrinya. Waktu bukunya ketinggalan, dia heboh nyariin bukunya kemana-kemana. Hal ini mungkin membuat istrinya curiga. Kenapa buku itu sebegitu pentingnya buat dia. Istinya baca buku itu dan ternyata memang ada “sesuatu di dalamnya”, membuat mereka bertengkar, dan si bule berasumsi sayalah yang telah dengan tekun membaca bukunya dan memberitahu ke istinya.(asumsi saya, dan pengarahan pikiran dari seorang teman, gak tau benar apa gak) Kurang kerjaan apa, I don’t even close with his wife.. Hey… he must not know ‘bout me, his problem is not my business, agaknya saya lagi sial, apes… in the wrong time and wrong place. Sampai hari ini dia tidak minta maaf pada saya.

Dia bukan laki-laki, pengecut, anak-anak yang tidak bisa mengontrol emosi!

Banyak teman bersimpati, tapi tetap saja mereka memperlakukan dia dengan baik. Hey… salah satu perempuan negeri ini direndahkan, semua orang yang mengaku orang Indonesia di tempat ini direndahkan, dan tetap teman sebangsa saya tidak merasa ikut direndahkan. Terbayang pada saya jika kejadian ini dilakukan orang lokal, sebangsa sendiri, pastilah lain reaksinya.
Kita terlalu lama dijajah Belanda.


Yo180111




Jumat, 14 Januari 2011

so...

So…….
Kemarin, setelah ngobrol dengan seorang teman, saya jadi sadar tidak semua bisa dibuat sederhana kalau menyangkut hati.

Jadi begini ceritanya, teman saya ini sudah lama naksir seorang cowok. seperti kebanyakan cewek-cewek lain, dia kerap bercerita pada sahabat dekatnya, biasalah curhat session. Di luar dugaan, suatu hari sang sahabat "permisi" padanya. Ternyata cowok pujaaan hatinya memilih sang sahabat untuk dijadikan teman hidup dan sang sahabat pun merespon positif. Sang sahabat sampai banting stir memutuskan pacarnya dan jalan dengan si pujaan hati.
Temen saya tentu kecewa, tapi dia berpikir, si cowok pujaan tidak tahu sama sekali tentang perasaannya, kalau pun tau, kemungkinan besar responnya tidak akan sama dengan perasaan teman saya. jadi logikanya, kalau sang sahabat dan si cowok pujaan hati saling cinta dan ingin membangun masa depan bersama, why not? she just an outsider :( .
Waktu merangkak, matahari masih bersinar, hujan sesekali, daun yang berguguran pun tetap tumbuh lagi. Teman saya (entah dapat kekuatan dari mana) tetap berteman baik dengan sang sahabat, hari pernikahan pun semakin dekat. Teman saya punya sedikit penyesalan dalam hatinya. Seharusnya dia nyatakan perasaannya, tanpa peduli diterima atau tidak,  at least si cowok pujaan hati tau, tapi sekarang sudah terlambat. Hey… they are getting married. Dengan perasaan sesal itu, sepertinya dia harus memendam perasaan sampai mati. Kita semuanya tahu betapa jeleknya naksir pada calon suami orang lain, apalagi calon suami sahabat sendiri.
Hingga suatu hari, mereka putus. Sebenarnya dia tidak terkejut, sang sahabat sejati kerap bercerita tentang kurangnya perhatian si cowok pujaan hati pada sang sahabat. tapi teman saya ini tidak menyangka akan sejauh itu, mengingat  mereka akan menikah, dan keluarga sudah saling berhubungan dengan baik.
Dengan tidak ada maksud tidak sensitive sama sekali atas berakhirnya hubungan seseorang, teman saya mulai contact dengan si cowok pujaan hati (hey they are broke up now, it means no relationship at all). Teman saya takut mati penasaran kalau tidak menyatakan perasaannya. “ini second chance buat aku”, tuturnya. Apapun respon si cowok pujaan hati dia tidak peduli. Dia merasa dengan begitu dia akan bebas, tapi apa iya?
Sesuai perkiraan, si cowok pujaan hati tidak meespon balik perasaannya, tapi itu tidak jadi masalah untuknya, bukankah tujuan pentingnya hanya let him know. Serba salah jadinya, di satu sisi dia malah merasa bersalah pada sang sahabat,” if I do the same thing like her, so what make me different from her?” ucapnya. Di satu sisi dia merasa perlu memperjuangkan hatinya ( apa yang dia percayai, karena yang dia tahu hanya dia harus berusaha untuk apapun yang dia mau, yang namanya bonus datang dari langit itu tidak pernah ada. Dia merasa dia diberkati oleh Tuhan dan segala yang didapat juga berasal dari Dia, tapi tetap manusia harus berjuang untuk hidupnya kan, barulah berkat itu akan datang melalui jalannya).

Sesekali dia mengaku lelah berada diantara mereka bertiga (sang sahabat, sang pujaan hati dan si mantan pacar sang sahabat yang masih merasa dicurangi oleh sang sahabat dan bertekad menyengsarakan hidup sang sahabat), dia tidak merasa dirugikan, hanya lelah, dan makin lelah karena dia tahu benar dirinya sendirilah yang menempatkan dirinya disituasi pelik itu. Acapkali dia ingin keluar. Tapi seakan-akan ada kekuatan yang menariknya masuk kembali ke pusaran itu, dia menyebutnya pusaran.  Berjanji dalam hati untuk memutuskan contact sudah berkali-kali ditekadkannya, tapi hal yang sama berulang lagi, berkali-kali.

Kalau saja si cowok pujaan hati bersikap kasar, atau tidak baik maka akan lebih mudah untuk lepas. Kenyataannya si cowok pujaan hati, sopan dan asik diajak ngobrol, walau jelas-jelas dia menyatakan tidak bisa membalas perasaan teman saya.
Sang sahabat? Setelah putus dengan si cowok pujaan hati, beberapa kali dia menjalin hubungan dengan pria lain dan hampir menikah, tetapi entah kenapa selalu gagal. Dia sampai minta maaf (hal yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya) kepada teman saya karena dia merasa mencurangi teman saja.
But all of those doesn’t make any different, samapi sekarang  teman saya dan sang sahabat masih berteman karib, teman saya dengan si mantannya sahabat juga, dan tetap contact dengan si cowok pujaan hati, walau hanya sekedar text “selamat memulai hari”.
Why she can’t make it simple.
Faktanya:
1.      Si cowok pujaan hati tidak punya perasaan padanya dan dia sudah let him know, so… leave him alone!
2.      Si cowok pujaan hati mungkin masih punya perasaan pada sang sahabat mengingat sampai sekarang dia  belum punya pasangan lagi, so……. Let him find his way…!
3.      Sang sahabat juga pasti masih punya perasaan pada si cowok pujaan hati ( dari hasil curhat session), so…….. let her find her way too!
4.      Go away from them and start a new wonderful life!

Tapi apa iya bisa dibuat sesederhana itu?