Dilabrak…. Ouch…
Mungkin kita terlalu lama dijajah Belanda terlintas dipikiran saya. Entah mengapa di lingkungan saya orang-orang sangat menghormati orang kulit putih (bule). Berkali-kali dihina dan direndahkan tidak membuat kami kehilangan rasa hormat itu. Rasa hormat dalam hal ini adalah tetap bersikap baik. Berkali-kali dia mengucapkan “I hate Indonesian” tidak membuat kami bergeming atu setidaknya menunjukkan reaksi ketidak sukaan kami. Bisa berteman dengan orang asing berkulit putih seakan punya nilai tersendiri dalam pergaulan, tak perduli seberapa buruknya pun mereka memperlakukan kami. Mungkin kita terlalu lama dijajah Belanda, sehingga terbentuklah “mental budak” dalam diri kami.Tak terkecuali bagi para wanita dilingkungan saya, bisa menjalin hubungan dengan bule seakan menaikkannya ke suatu kelas sosial tertentu, apalagi sampai menikah, tak tergambarkan bangganya.
Diskriminasi juga terjadi di dunia pekerjaan. Orang asing selalu dibayar lebih tinggi dari pada tenaga lokal. Padahal belum tentu kemampuan tenaga lokal lebih rendah. Kalau memang sesuai kemampuan, wajar-wajar saja. Untuk bahasa, misalnya, karena lidah mereka yang native buat bahasanya yang dipelajari di seluruh dunia, tentu saja kita tidak bisa menandingi, hey… that is their language. Tapi kalau untuk grammar atau spelling, saya tahu banyak tenaga lokal yang lebih menguasai dibanding mereka yang berkulit putih. Malah bisa dikatakan kemampuan mereka dibawah rata-rata untuk hal itu. Belum lagi latar pendidikan mereka yang tidak jelas, dan attitude yang amburadul.
Logikanya, kalau mereka sejahtera di negaranya yang katanya maju ,menyenangkan dan selalu dibangga-banggakannya itu, ngapain datang ke negara berkembang yang selalu direndahkannya ini, bekerja dan hidup disini. Tetapi tetap saja para pengusaha memakai tenaga mereka dan membayar mereka dengan sangat tinggi, berlipat-lipat kali lebih besar dari tenaga lokal. Konon katanya punya karyawan bule membuat konsumen tertarik, jadi baik sekali untuk bisnis. Bangsa sendiri pun tidak menghargai bangsa sendiri dengan sepantasnya. Siapa lagi yang bakal menghargai kita?
Saya koar-koar seperti ini bukan karena saya punya pengalaman buruk dengan satu diantaranya yang kebetulan teman sekantor saya.
Ceritanya begini, di hari senin kemarin, tiba-tiba dia datang kehadapan saya, “I wanna talk to you” katanya. Belum sempat saya menarik napas, dia sudah mencecar saya dengan makian-makian dalam bahasanya, kasar sekali. Terkejut dengan perlakuan itu, saya hanya sempat bilang,”I didn’t do it” sambil menahan tangis. Karena tuduhannya terhadap saya itu tidak benar, dan saya punya saksi-saksinya. Tak pernah terbayang pada saya akan punya masalah dengan orang lain.
Beberapa hari yang lalu, saya dan tiga orang teman berkumpul setelah menyelesaikan pekerjaan. Karena itu ruangan teman saya, jadi saya tidak canggung menyentuh barang apapun di ruangan itu. Kebetulan saya berdiri di dekat meja, di meja itu kebetulan ada buku si bule, ketinggalan ceritanya. Iseng aja, saya buka buku itu(sekilas, only a glance), “ugly handwriting” ucap saya, tak lebih dari itu, saya tidak tahu apa isinya. Tak lama si bule datang dengan maksud mengambil bukunya.
Kemarin, di depan banyak orang, dia melabrak saya…. “ next time if somebody left their book, don’t open it, read it and tell everybody about it…bla…bla… u f******…..bla…bla…. that is a f****** childish things to do…&*%*$$&(((&*%#@!#%^&((()*&%^%$#@#%^&&*...., I hate all Indonesian”
Penting diketahui hal itu diucapkan di depan banyak orang dan anak-anak….
Setelah itu dia pergi, tak lama kemudian dia datang lagi, tak kuasa menahan marah dan takut lepas kendali, saya pergi. Ternyata dia malah marah-marah kepada teman yang saya tinggalkan disana “ if you want to say something say it in front of me, you f******…… kiss my ash…..$#%$&*%&^%%^$%##!!$#”. Dimana etikanya sebagai seorang manusia. Terlepas dari apapun masalahnya, tidak sepantasnya dia mengucapkan kata-kata kotor dan kasar seperti itu kepada manusia lain, katanya educated well, berasal dari negara yang paling beradab, kelakuan kok kayak tarzan.
Saya memang membuka buku itu (tidak dengan maksud khusus), tapi membacanya dengan tekun (cukup tekun untuk menyelami isinya) tidak saya lakukan, apalagi menyebarkan isinya kepada semua orang. Saya bahkan tak tahu apa isinya. Saya tidak punya kepentingan apapun dengan dia, bukunya atau apapun yang melekat dengan dirinya!
Bukan hanya sekali kata-kata kasar di lontarkanya untuk menghina bangsa ini dan kami. Banyak dari kami juga mendengar bukan hanya saya. Perlu saya tambahkan tidak semua orang asing seperti dia ini, karena banyak juga kok yang baik dan sadar benar dan kalau mereka hidup, makan, tidur, ook, dan kerja disini.
Mungkin kekurangan saya adalah tidak terlalu perduli, saya reaktif, tapi tindakan saya lebih kepada menjauhi masalah, malas berurusan dengan orang seperti itu, sampai akhirnya saya benar-benar terkena langsung. Seharusnya kami reaktif sedari awal dia mulai melecehkan, mengejek, dan menghina tempat kita tinggal. Mungkin memang tidak ada lagi nasionalisme dalam jiwa kami. Kalau saja dari awal kami sudah menunjukkan ketidaksukaan kami, pastilah dia tidak akan menjadi-jadi.
Banyak orang tahu tentang ini, di kantor berita memang cepat menyebar, tak terkatakan suasana hati saya saat itu. Hari senin, in the morning dah digituin sama orang yang bahkan numpang tinggal di negara tercinta saya ini, dan faktanya, saya tidak melakukan apa yang dituduhkannya. Banyak teman yang bersimpati pada saya( thanks all… ).
Siang harinya, istrinya (orang Indonesia), datang minta maaf pada saya, “ its all my fault, if you want to blame somebody, just blame me” katanya. Takut break down and cry again, “I will appreciate if we don’t talk about it, I just want to forget it” kata saya. Anehnya si bule tidak menemui teman saya yang tiga lagi. Why only me? Poor I am ( I found new fact, why only me)
Usut punya usut plus analisa saya, ternyata ini berawal dari masalahnya dengan istrinya. Waktu bukunya ketinggalan, dia heboh nyariin bukunya kemana-kemana. Hal ini mungkin membuat istrinya curiga. Kenapa buku itu sebegitu pentingnya buat dia. Istinya baca buku itu dan ternyata memang ada “sesuatu di dalamnya”, membuat mereka bertengkar, dan si bule berasumsi sayalah yang telah dengan tekun membaca bukunya dan memberitahu ke istinya.(asumsi saya, dan pengarahan pikiran dari seorang teman, gak tau benar apa gak) Kurang kerjaan apa, I don’t even close with his wife.. Hey… he must not know ‘bout me, his problem is not my business, agaknya saya lagi sial, apes… in the wrong time and wrong place. Sampai hari ini dia tidak minta maaf pada saya.
Dia bukan laki-laki, pengecut, anak-anak yang tidak bisa mengontrol emosi!
Banyak teman bersimpati, tapi tetap saja mereka memperlakukan dia dengan baik. Hey… salah satu perempuan negeri ini direndahkan, semua orang yang mengaku orang Indonesia di tempat ini direndahkan, dan tetap teman sebangsa saya tidak merasa ikut direndahkan. Terbayang pada saya jika kejadian ini dilakukan orang lokal, sebangsa sendiri, pastilah lain reaksinya.
Kita terlalu lama dijajah Belanda.
Yo180111
Tidak ada komentar:
Posting Komentar